Thursday, April 14, 2011

TUGAS AKHIR

MASYARAKAT KONSUMEN
SEBAGAI CIPTAAN KAPITALISME GLOBAL:
FENOMENA BUDAYA DALAM REALITAS SOSIAL

Abstrak
Kapitalisme global, yang lahir dari proses globalisasi, menciptakan budaya konsumsi dan masyarakat konsumen—yang 
eksistensinya dilihat hanya dengan pembedaan komoditi yang dikonsumsi, dengan terus menerus mengkonsumsi
berbagai tanda dan status sosial di balik komoditi. Kapitalisme global dalam dirinya sendiri mempunyai daya kemajuan
yang bisa mempermudah dan membantu manusia dalam menjalankan aktivitas hidupnya. Namun kemajuan yang sama
bisa membawa dunia dalam perubahan yang semakin sulit untuk dikendalikan oleh manusia. Semangat kemajuan yang
melekat dalam diri kapitalisme global mempunyai kecenderungan untuk membawa dunia dalam situasi yang penuh
dengan ketidakpastian, penuh dengan ketimpangan dan hegemoni. Tulisan ini ingin menelusuri fenomena kapitalisme
global ini, mulai dari hal-hal positif yang dihasilkannya sampai pada dampak-dampaknya bagi perubahan kehidupan
manusia sebagai masyarakat konsumen. 
Globalisasi
Kata globalisasi mempunyai hubungan yang erat dengan
istilah kapitalisme global atau ekonomi pasar bebas,
globalisasi kebudayaan, pascamodernisme dan
pascamodernitas. Istilah-istilah ini mempunyai arti atau
merepresentasikan realitas yang saling berkaitan.
Namun, dalam bagian pertama ini penulis hanya akan
menjelaskan secara lebih mendetail mengenai definisi
dari globalisasi. Hal-hal lain yang berkaitan dengannya
akan dibahas di bagian-bagian lain dari tulisan ini.
Mendefinisikan istilah  ini secara mendasar bukan hal
yang mudah. Hal itu terjadi karena banyaknya bidang
kehidupan yang mengalami proses ini. Bidang-bidang
itu antara lain, kebudayaan, ekonomi-kapitalisme
global, politik, komunikasi multimedia, dan lain
sebagainya. Definisi yang paling sederhana dan singkat
mengenai globalisasi pernah dikemukakan oleh Etienne
Perrot yang memahaminya sebagai hasil penggabungan
atau akumulasi antara internasionalisasi dan
homogenisasi (Perrot dalam  Concilium  2001/5: 17).
Definisi seperti ini sepertinya menjadi jalan keluar dari
perdebatan seputar distingsi antara internasionalisasi,
transnasionalisasi dan globalisasi.
Kata internasionalisasi di sini kiranya dipahami sebagai
proses penyebaran paham-paham global ke seluruh
dunia. Kata ini juga dipahami sebagai masuknya
dimensi global dalam setiap masalah. Artinya, sekarang,
di era globalisasi, satu masalah atau tindakan individu
mempengaruhi orang lain di mana saja. Dengan
demikian, tindakan seorang ibu membeli sayur di
sebuah pasar tradisional di Semarang mempengaruhi
orang lain di mana saja. Hal ini mungkin agak
membingungkan bagi orang awam. Akan tetapi jika kita
cermati secara lebih teliti, nampaknya contoh tersebut
mempunyai suatu kebenaran, terutama jika kita
menganalisanya dari segi perputaran uang dalam era
globalisasi. Sementara homogenisasi adalah proses
penyamaan berbagai bagian kebudayaan di antara
bangsa-bangsa.
Globalisasi juga bisa dipahami dari konsep  time-space
distinction. Pemikiran Anthony Giddens kiranya berada
dalam ranah ini. Kata globalisasi tidak hanya
menyangkut masalah ekonomi tetapi juga menyangkut
informasi dan transportasi (Wibowo dalam Giddens, 
1999: xv). Globalisasi adalah suatu kondisi di mana tak
satupun informasi yang dapat ditutup-tutupi, semua
transparan. Akibatnya, pola hubungan manusia menjadi
semakin luas, bukan saja pribadi dengan pribadi,
melainkan juga semakin terbukanya komunikasi yang
simultan, mengglobal sehingga dunia menjadi—
meminjam istilah Marshall McLuhan—‘desa  besar’
atau global village. 
Hampir semua hal di dunia ini mempunyai dua sisi yang
selalu hadir bersama, yakni sisi negatif dan sisi positif.
Demikian pula dengan globalisasi. Secara positif,
globalisasi telah membantu manusia untuk dapat
berkomunikasi secara lebih cepat dengan jangkauan
yang luas. Berbagai  kemudahan yang ditawarkan oleh
teknologi informasi, komunikasi dan transportasi yang
canggih tidak bisa ada tanpa pengaruh globalisasi.
Demikian pula terhadap perkembangan sains dan
teknologi dewasa ini yang semakin mempermudahsegala pekerjaan manusia
Dalam era teknologi yang serba
canggih ini, berbagai pekerjaan berat, berbahaya dan
rumit yang seharusnya dikerjakan manusia bisa
diwakilkan pada jasa baik mesin-mesin berteknologi
tinggi. 
Kecurigaan terhadap Globalisasi
Berbagai kemudahan yang ditawarkan oleh mesinmesin berteknologi tinggi dan perangkat komunikasi
dan informasi multimedia dalam era globalisasi ternyata
tidak hanya dilihat dari sisi positif. Berbagai kecurigaan
juga muncul beriringan dengan fakta-fakta di atas.
Dengan kemajuan di bidang komunikasi yang
kelihatannya bisa menghapus segala perbedaan dalam
masyarakat dunia, ternyata globalisasi gagal membuat
masyarakat bersatu dalam satu solidaritas yang lebih
besar dari sebelumnya (Sobrino dan Wilfred dalam
Concilium  2001/5: 11-12). Dalam perspektif ini
homogenisasi globalisasi dilihat sebagai ilusi. Dunia
yang disatukan adalah ilusi terbesar globalisasi, karena
yang terjadi khususnya pada manusia adalah
kebalikannya. Alih-alih menciptakan dunia yang satu,
globalisasi malah menciptakan manusia-manusia yang
terfragmentasi (Sobrino dan Wilfred dalam  Concilium
2001/5: 12). Secara fisik, tampaknya dunia semakin
bersatu, homogen dengan payung globalisasi. Akan
tetapi dunia yang homogen itu tidak termasuk
kemanusiaan. Dalam bidang ekonomi, kapitalisme
global yang bernaung di bawah globalisasi telah
memisahkan manusia dalam jurang perbedaan yang
sangat signifikan, antara si miskin dan si kaya atau
antara orang Utara/Barat sebagai pemodal yang kaya
raya dengan orang Selatan/Timur sebagai para buruh
kasar yang miskin. 
Globalisasi dan Pascamodernisme
Pascamodernisme tumbuh subur dalam kerangka
globalisasi. Pascamodernisme sendiri adalah suatu
kecenderungan pemikiran yang menekankan lokalitas
dan keragaman penafsiran dan dengan demikian
menolak segala klaim universalitas pengetahuan dan
kebenaran, menolak segala dogmatisme metode. Intinya
pascamodernisme menolak baik dogmatisme religius
abad pertengahan dan ‘narasi agung’ abad pencerahan
yang berpuncak pada utopia positivisme logis. 
Pascamodernisme merupakan kritik akan pemikiran
Pencerahan (Enlightenment)  yang sangat menekankan
adanya subyek yang sadar diri dan otonom. Seperti yang
kita ketahui pemikiran Pencerahan  sangat yakin bahwa
ilmu pengetahuan dan otak manusia akan mampu
menangkap realitas seperti apa adanya atau yang
sebenarnya. Dengan kata lain meyakini bahwa ilmu
pengetahuan akan bisa menjadi “cermin yang baik.”
Pascamodernisme menolak semua utopia itu. Bagi kaum
pascamodernis yang paling penting adalah
penghormatan akan pluralitas pemikiran dan
multikultural. 
Pluralitas pemikiran dan pluralitas kebudayaan ataupun
lokalitas kebudayaan berhubungan dengan relativisme
pemikiran dan relativisme budaya yang menolak klaim
universalitas pengetahuan dan kebenaran. Relativisme,
yang berakar pada tradisi kaum sofis zaman Yunani
klasik, secara umum ingin menghargai keragaman
budaya dan keragaman pemikiran. Relativisme bisa
berupa  relativisme subjektif yang menyatakan bahwa
kebenaran bersifat relatif terhadap subyek yang
bersangkutan, dan relativisme budaya yang menolak
klaim kebenaran obyektif dan universal dan
memberikan tempat seluas-luasnya bagi budaya-budaya
lokal untuk menyatakan kebenaran versi mereka sendiri.
Untuk yang terakhir ini kebenaran dicari dengan
memperhatikan konteks sosio-budaya suatu wilayah.
Selain dari sisi subyek dan budaya, relativisme juga
menyangkut keragaman paradigma yang menjadi dasar
dari proses mengetahui (Sudarminta, 2002:  55-56).
Globalisasi Kebudayaan
Globalisasi kebudayaan berkembang seiring dengan
perkembangan kapitalisme global dan transparansi
informasi. Sebagai proses homogenisasi dan
internasionalisasi, globalisasi bisa dilihat secara negatif.
Dalam bidang kebudayaan globalisasi dituduh gagal
dalam menciptakan dan mempertahankan
keanekaragaman budaya. Cita-citanya untuk
menghargai perbedaan dan tercapainya keadilan bagi
semua umat manusia ternyata tidak sesuai dengan
realitas yang sedang terjadi, karena justru
kecenderungan globalisasi adalah homogenisasi dan
penyeragaman. Karena itu, keanekaragaman budaya dan
masyarakat hanya tinggal konsep tanpa realitas (Sobrino
dan Wilfred dalam Concilium 2001/5: 12).
Globalisasi tidak hanya mempengaruhi sisi luar
kebudayaan, yakni keanekaragaman budaya, akan tetapi
juga menyangkut hakikatnya, yakni cara pandang kita
tentang kenyataan dan kebenaran. Menurut Jean
Baudrillard, dalam globalisasi kebudayaan kebenaran
dan kenyataan menjadi tidak relevan dan bahkan lenyap.
Contohnya bisa dilihat dalam dunia hiburan di mana
kebudayaan direduksi menjadi sebatas iklan dan
tontonan media massa. Bagi Anthony Giddens,
globalisasi terjadi manakala berbagai tradisi keagamaan
dan relasi kekeluargaan yang tradisional berubah
mengikuti kecenderungan umum globalisasi, yakni
bercampuraduk  dengan berbagai tradisi lain. (Giddens,
2000: 4).  
Proyek  homogenisasi dalam globalisasi tidak bisa
dibatasi pada keidentikan dengan hegemoni budaya
Barat terhadap budaya Timur. Logika globalisasi
memungkinkan munculnya situasi  chaos, over-laping,
kesimpang-siuran mengenai asal budaya. Hak milik
ataupun identitas kelompok bukanlah masalah yang
krusial, karena yang diutamakan adalah bagaimana
identitas itu diangkat menjadi identitas global, milik
masyarakat global.
Globalisasi juga bisa dilihat sebagai suatu tatanan sosial
yang penuh dengan ilusi; menciptakan dunia di mana
manusia senang untuk tinggal di dalamnya. Kapitalisme
pun menjadi kapitalisme global yang mempengaruhi
masyarakat dunia lewat berbagai strategi ekonomi.
Bahkan hal yang sama bisa dimanfaatkan secara luar
biasa untuk mengubah realitas secara radikal.

0 comments: